Photobucket - Video and Image Hosting
Monday, July 24, 2006


Now, let me go ...!

Bahasa inggris orang suriname memang payah. Mr.Radji yang saya temui, konglomerat ternama di Surimane itu adalah contoh nyatanya. Inilah beberapa kalimat yang saya inget diucapkannya. Bikin saya dan teman2 tertawa terpingkal-pingkal...

Saat memamerkan studio tv garuda miliknya. Saat itu dia membawa kami tur keliling studio. Sampailah kami diruang produksi.ia pun lantas menerangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ruangan produksi itu. Begitu kami akan berpindah ke ruangah lain ia menyebutkan kalimat yang super lucu. Mungkin maksudnya gini : ” sekarang, mari kita ke ruangan lainnya..”, tapi dia membahasakannya seperti ini : Now, let me go! kikikik.....

Saat menerangkan bahwa ia temannya, Mr. Josh yang akan menemani kita selama di Suriname.Dia mungkin mau bilang gini kira-kira : ” pokoknya dia yang terbaik, saya tau karena kami sudah berteman lama” . Naah, dia membahasakannya seperti ini : Mr. Josh is the best. I can tell you that he is friedship to me! Kikikikikik...........


Dewi Layla at 4:14 AM





Oleh-oleh Terbaik

Memang benar perkataan seorang teman, kalau kita tugas keluar negeri tiba-tiba saja kita jadi punya banyak teman. Bayangkan saja, sejak hari pertama hingga di perjalanan pulang, sepertinya masih ada saja list oleh2 yang harus dibeli. Si inilah, si itulah.
Entah kenapa, aku paling sibuk mikirin oleh-oleh buat adikku, Liza. Mungkin karena aku kasihan padanya, karena diantara kami bertiga bersaudara, dialah yang belum sempat pergi kemana2 meninggalkan jakarta, khususnya ke luar negeri. Aku ingin rasanya membagi kebahagiaan jalan2ku dengannya,dengan memberinya oleh2 yang menyenangkan.
Makanya ketika di paris, aku menawarinya oleh2 paling mahal dibandingkan yang lain, Jam Swatch seharga 75 euro. Tapi diluar dugaan, dia malah nolak, dia minta parfum saja. Saking ga percayanya aku sampai bertanya 2 kali apa benar dia ngga mau jam swatch asli. Akhirnya kubelikan juga dia parfum Ck 1, lumayan 40 euro. Senang sekali rasanya, terbayang mukanya yang akan sumringah saat menerima oleh-oleh itu nantinya.


Dewi Layla at 4:12 AM



Sunday, July 23, 2006


Luka di Rust en Werk...
July 3rd,2006

Orang bilang saat kita berada di kejauhan, terpisah dari keseharian kita dan sendiri,maka kita bisa berpikir jauh lebih jernih. Di desa yang sepi dan dipadati oleh orang-orang jawa ini, aku antas berpikir tentang hati. Terlintas saja perasaan luka yang sepertinya mustahil untuk diringankan.

Jika saja, bisa ku transfer semua ingatan akan penghianatan itu ke dalam otakmu. Tentu akan jauh lebih mudah bagimu memahami amarahku yang berulang-ulang dan konstan itu. Kuharap tentu saja kemudian kamu dapat membantu meringankannya. Tak mungkin sempurna tentu saja.Karena, sekali lagi, mustahil untuk diringankan.

Kuharap kau ingat selalu segala hal penghianatan yang pernah sangat menyakiti aku itu. Juga Segala perilaku yang terbilang kasar dan berperasaan itu. Tentu saja aku tak mendetilkannya dalam halaman ini, karena terlalu curiga akan ada yang tertawa riang saat membacanya. Terlebih, tentu aku akan sangat senang menjaga reputasimu hingga saat ini, kau, suamiku. Tapi harap ingat saja terus semua apa yang pernah aku catatakan dalam ingatanmu. Semogalah dengannya kamu dapat terus belajar, selalu ingat, hingga dapat menjaga hatiku lebih baik hingga aku menua dan tak indah lagi.

Sulit, sungguh kukatakan Saat ini. Ingin berdenyut lagi hatiku atas puisimu, ingin bergetar lagi atas tiap jengkal ciumanmu, dan ingin terhibur lagi meski hanya dengan senyumanmu.


Dewi Layla at 11:54 PM






Language is a matter of.......

Hari ini kami lepas landas ke suriname, amerika tengah. Sebetulnya kekesalan melanda lagi. Stamina yang semakin menurun, kaki yang lecet sepulang dari paris, dan suara serak yang hampir-hampir menghilang melanda saya. Saya tahu, suara saya tak boleh hilang ! Karena dengan suara itulah saya bisa bertanya dan menghindari tersesat. Jadilah sepanjang hari ini saya ’pelit’ berbicara. Hanya untuk hal-hal penting saja saya mempergunakan suara saya. Misalnya untuk mereservasi tiket, bertanya arah dll. Saya berlari ke supermarket di bandara Schipol saat teman-teman saya mengantri check in. Saya membeli kecap dan jeruk lemon, obat tradisional serak di negara saya.

Kesal rasanya ditengah2 suara saya yang menghilang teman2 bahkan masih kurang berinisiatif untuk bertanya pada orang lain,padahal waktu kita untuk check in ke paramaribo sudah sangat tiris. Mereka memilih mencari sendiri info tersebut melalui papan info. Saya ngga sabar. Dengan suara yang semakin menghilang saya bertanya : which way to the check in line,sir ? am leaving to paramaribo? . Hanya dalam waktu 3 detik kami menemukan arah yang benar. Saya ga habis pikir kenapa teman2 saya begitu sulit untuk bertanya. Saya katakan berulang-ulang untuk tidak memperdulikan grammer dan jangan takut salah. Ga usah memperdulikan grammer karena bahasa is a matter of i undersand and you understand. Hanay dengan mengatakan , check in to paramaribo, which way ?orang yang diajak ngomong pasti udah ngerti. Dan jangan takut salah, karena itu tokh bukan bahasa kita,jadi orang sepenuhnya akan maklum.


Dewi Layla at 11:52 PM





Menjadi Andalan...hiks...

Pertama-tama sih saya enjoy. 2-3 hari sih, saya masih punya cukup stamina. Tapi sebel juga lama kelamaan. Saya tahu, alhamdulillah, dikarunia Tuhan kemampuan berbahasa inggris yang lumayan. Saya juga mahfum,harusnya saya menggunakannya untuk tujuan yang baik dan menolong orang lain. ARTINYa saya seharusnya juga harus rela menjadi juru bicara teman-teman saya selama di perjalanan ke negeri orang ini....Untuk mencari info harga tiket, arah, makanan halal, hotel, reservasi hingga mencari toilet dan membeli air mineral sudah saya lakukan. Tapi akhirnya saya sebel juga pontang-panting sendirian bertanya, membaca, lantas menuntun ke tujuan yang tepat. Kesal sekali ketika harus menanyakan hal-hal kecil yang seharusnya bisa dilakukan sendiri seperti where’s d toilet ? atau any KFC around here ? . Bt...
Untuk urusan yang lebih njelimet dari sekedar nyari toilet atau KFC saya pasti akan melakukannya dengan senang hati untuk kami. TAPPPPPPiiiiiii......

Alasan teman saya sih tidak PD ! But hey c’mon...saya capek dan kehilangan stamina..please help ! Masih mending di BELANDA kebanyakan orang mengerti bahasa inggris. Tapi di Paris, orang-orang ngga bisa atau ngga mau berbahasa inggri. Jadilah saya pusing, dan modar !!!

Saya tau kekesalan saya tampak sekali saat reseravsi tiket ke paris. APALAGI perjalanan ke paris yang seharusnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 4 jam menjadi molor 7 jam. Melihat kekesalan saya akhirnya teman saya take over pekerjaan menjadi guide yang sudah saya lakukan 3 5 hari ini. Saya pun dengan sadar membiarkan.Tujuannya melatih kepedean mereka. Tapi kadang-kadang kesel juga, karena kami jadi sering ke sasar. Hiks...nasib.. Akhirnya saya take over lagi pekerjaan itu sesekali.

Tapi saya jadi sadar, saya memang seharusnya mensyukuri nikmat Tuhan itu dengan menggunakannya untuk membantu teman-teman saya.Syaratnya harus ikhlas. Saya jadi ingat papa saya yang sudah jauh dialam sana. Ternyata tugas belajar bahasa inggris yang dulu ditugasi pada saya dan saudara2 saya tiap akhir pekan bukanlah kesiaan. Saya sangat merasakan manfaatnya hingga saat ini, sebuah harta yang berharga. Saya bisa kerja dengan pak Hamish, kerja di KIS FM, di wawancara dengan baik dengan bahasa inggris di trans tv, bisa beasiswa ke belanda dan sekarang liputan ke eropa dan suriname. Makasih papa.......


Dewi Layla at 11:51 PM





KLM : D unforgattable memories 14 hours flight.......


Sebetulnya pesawat KLM yang membawa saya tidak agak sedikit mengecewakan,karena jauh dari bayangan saya sebelumnya. Mungkin karena saya pernah naik pesawat internasional dari bali menuju jakarta yang jauh lebih keren ketimbang yang saya naiki ini. Tapi lumayanlah, karena ada headset untuk mendengarkan film dan musik sepanjang perjalanan. Makanannya hampir terbilang nonstop. Asal tak tertidur,ada ada saja makanan yang disuguhkan pada penumpang. Baik makanan berat ataupun cemilan ringah. 14 jam diatas udara menjadi tak terlalu membosankan.

Selama satu jam kami transit di Malaysia. Kali ini saya menginjakkan kaki lagi di negara orang, setelah terakhir timor leste. Bandara malaysia jauh lebih modern ketimbang Soekarno Hatta. Lebih rapi dan futuristik. Saya menyempatkan diri shalat isya di musholla-nya. Saat mencari musholla inilah saya tau bahwa Malaysia banyak memperkerjakan orang India. Mungkin karena bahasa inggris mereka cukup baik (maklum pernah dijajah inggris) dan lagipula mereka underpaid.Huh..dasar licik ! Shalat isya kali itu begitu nikmat, saya bersujud sangat dalam, menghanturkan rasa syukur teramat dalam pada Allah, atas kesempatan mengunjungi negeri-negeri orang. Melihat keagungan Tuhan dalam coretan Alam di belahan bumi yang lain....Dan saya yakin, itu akan sangat indah !

1 jam kemudian saya kembali sudah berada di pesawat. Dan tentu saja terlelap di antara jam-jam perjalanan. Tappi...saya sering terbangun kalau pramugara yang kebencong-bencongan itu menawarkan snack bar....hehehe...

Satu kali saya terbangun, entah untuk yang keberapa kalinya. Saya lantas membuka jendela pesawat. Saya lihat matahari merah mulai menyala. Indah luar biasa. Sebetulnya saya mengantuk sekali. Tapi saya tau kesempatan ini tak sering saya dapatkan. Mata mata saya yang letih dan berontak ingin tertidur kembali saya paksa untuk terbuka. Saya bujuk mereka dengan mengatakan bahwa mereka tak akan menyesali apa yang akan mereka lihat kali ini. BENAR SAJA ! matahari perlahan tapi pasi terbit. Indah sekali...sebetulnya saya mencoba menangkap keindahan ini denagn mata kamera saya, tapi entah mengapa kamera saya seakan tak mampu. Mungkin saya menyetelnya pada settingan yang salah. Jadi ya sudahlah, saya memutuskan merekam saja keindahan itu dalam benak saya lantas menuangkannya dalam tulisan atau kata-kata. Saking asyiknya saya lupa...uuupss, belum shalat Subuh ! Akhirnya saya shalat. Tak terbayang bahwa saya akan Shalat Subuh di langit bukan langit Indonesia...Sungguh tak terbayangkan sebelumnya !

Usai shalat, saya kembali melongok ke luar. Saya berusaha melihat ke bawah. Dari monitor pesawat saya tau itu PARIS. Saya lihat kota itu masih tertidur. Tapi lampu-lampu masih tampak menyala. Bagus niah..Dari monitor pesawat itu pula saya tau berada di ketinggian 3800 kaki. Mencoba peruntungah, saya mencoba mencari-cari letak menara eifel. Dan..aha ....! TENTU aja ga akan tertangkap .... TAK lama monitor berubah,kali ini saya berada diatas Jerman. Saya tersenyum...sebentar lagi saya akan mendaratkan kaki di tanah Eropa. Suatu pengalaman yang langka....


Dewi Layla at 11:50 PM





Here I come Netherland
June 24, 2006


...Akhirnya saya benar-benar akan melangkah ke Eropa. Dhank Ari, suami tersayang itu, terlihat mulai merindukan saya,meski saya masih bersamanya sepanjang hari ini. Seperti biasanya setiap kali saya akan bepergian, pagi ini dia membantu merapihkan dan mengemasa barang-barang bawaan saya ke dalam koper. Semuanya teratur rapih dan semua barang bawaan saya dapat terangkut. Dalam hal ini, suami saya memang jagonya ketimbang saya. Ia juga ga lupa membelikan gembok baru untuk travelling bag saya.
Sebelum ke kantor, kami makan siang bareng di Platinum, plaza semanggi. Sebagai hadian sebelum saya pergi, suami saya membolehkan saya memesan makanan apa saja sebanyak apapun. Mungkin dia tahu, sampai 2 minggu ke depan saya ngga akan lagi dapat mencicipi makanan enak dan dijaminkehalalannya.
Suami saya sangat memanjakan saya. Hihihi..apalagi kalau kami habis bertengkar kecil seperti tadi malam. Saya sungguh berharap ia akan baik-baik saja di Jakarta tanpa saya. Ahh...tapi kan dia sudah biasa, satu tahun terakhir ini saya berada di program tivi yang saya harus keluar kota selama 7 hari 3 kali sebulan. Dia pasti sudah amat terlatih....Ia mengantarkan saya hingga ke bandara, menciumi saya ciuman perpisahan dan menunggu hingga saya benar-benar boarding. Saya sempat menyampaikan sebuah kartu terima kasih kejutan padanya beberapa saat sebelum saya check in. Isinya : Terima kasih pada tuhan yang telah memberikan hadiah terbaik pada saya sepanjang hidup ini :yaitu seorang suami yan baik,Baik-baik sayang, hati-hati di Jakarta tanpa aku ya...


Dewi Layla at 11:49 PM





= Indonesia (baca : sama dengan Indonesia)

Siapa sangka kalau saya akan menemukan banyak kosa kata bahasa indonesia di jalan-jalan di belanda. Simak saja kata-kata berikut ini :

Kantoor, Aphoteek, gratis, korting, WC, toilet, kiosk, parkeren, Brendweir,
dan banyak lagi. Senang loh rasanya bisa mengetahui dari mana kata-kata yang kita gunakan itu berasal. Penjajah memang akan selalu meninggalkan jejaknya di negara jajajah, termasuk tentu saja belanda kepada tanah air saya, Indonesia.


Dewi Layla at 11:48 PM





Netherland on 5 first days...

Sebuah kota kecil yang ramah. Rumah-rumah dan bangunan perkantorannya sama, terbuat dari batu bata dan banyak jendela. Khas sekali bangunan eropa jaman dahulu yang masih dipertahankan.
Disini jarang yang memiliki rumah pribadi. Kebanyakan penduduknya tinggal di flat-flat yang berjajar rapi memenuhi kota-kota di belanda. Tapi rumah flat disana sangat terawat. Beda jauh sama rumah susun di Jakarta. Kenalan saya di belanda, pak Wid, bilang kalau mengontrak rumah di belanda sangat sulit. Bisa-bisa kita harus mengantri selama 10 tahun untuk mendapatkan kesempatan untuk bisa mengontrak. Makanya,sebelum dapat kesempatan itu kebanyakan pendatang terpaksa tinggal di rumah-rumah kerabatnya.
Hampir ngga ada banguanna modern di kota Amsterdam atau Utrech, 2 tempat di belanda yang sempat saya kunjungi. Yang saya lihat hanya stadion AJAK dan beberapa perkantoran di sektiarnya sebagai bangunan besar. Gedung pencakar langit tak saya temukan disini. Saya belum menemukan jawabannya kenapa. Entah karena mereka menyukai tipe model bangunan klasik atau karena alasan lain.
Flat-falat yang berbaris rapi, serapi susunan batu bata yang menyusunnya, dipadu dengan bunga-bunga yang tumbuh di taman sekeliling flat menjadi pemandangan yang tak bosan-bosannya saya nikmati setiap hari. Saat berjalan kaki,di atas trem atau bus.
Bus,metro,trem adalah transportasi umum di Belanda. Semuanya bisa dinaiki dengan membeli Streppen Card,kecuali tiket metro ada khusus sendiri. Hampir semua orang punya peta, termasuk penduduk belanda sendiri. Tujuannya untuk mengetahui berapa zona yang akan mereka lalu. Dengan begitu mereka akan tahu berapa baris streppen card yang akan di cap oleh petugas bus atau trem. O,ya di tiap bus dan trem di pasangi kamera, jadi kalau ada kejahatan di dalam bus atau trem akan mudah untuk dilacak.

Banayk yang memperingatka nsaya dan teman-teman untuk berhati-hati karena di Amsterdam ternyata banyak copet. Mungkin benar juga, saya lantas berhati-hati. Kesal juga sih, karena perasaan was-was itu selalu mengahantui saya. Jadi tidak tenang mau melancong. Tapi saya tetap merasa nyaman kalau berlama-lama di bus atau metro.
Di kota ini penyandang cacat cukup dimanjakan. Ada lampu merah yang punya tombol khusus bagi penyandang cacat saat ingin menyeberang. Para supir bis atau trem juga punya kewajiban untuk membantu mereka naik dan turun, tanpa harus diminati tolong terlebih dahulu. Ada juga koridor untuk berjalan bagi penyandang cacat. Di koridor ini tidak boleh ada yang lewat kecuali mereka. Tentu aja ini sangat memungkinkan karena trem, bus,sepeda, orang dll punya track berjalan sendiri-sendiri.
Setiap halte dan stasiun punya peta, petunjuk arah dan waktu yang terawat rapih. Sehingga orang paling baru di belanda sekalipun ngga usah takut tersasar.

Orang-orang belanda sangat modis dalam berpakaian,terutama perempuannya. Selain modis mereka juga cantik dan ganteng. Sepertinya saya jarang melihat orang berupa buruk disana.Apalagi perempuan2 maroko yang berjilbab, mereka sungguh jelita. Saya sampai minder setengah mati. Tapi sesekali ada juga pengemis ’gemuk’ disana, copet juga gelandangan.


Dewi Layla at 11:47 PM






Paris..not van java


Aneh. Kesan Saya tentang paris jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Kota romantis dimana orang-orang cantik dan modis berseliweran ternyata tak seindah di kepala saya.

Stasiun dan keretanya tak sebagus belanda. Maungkin karena penduduk prancis jauh lebih banyak dibandingkan Belanda, makanya trem dan bus selalu penuh sesak oleh orang-orang, tak ada bedanya dengan kereta jurusan Depok Kota.

Orang-orang Paris tak terlalu mahir berbahasa Inggris. Tentu saja ini menyulitkan saya dan teman-teman dalam mencari arah tujuan perjalanan. Tak seperti di belanda,saya harus bertanya paling sedikit dengan 3 orang untuk akhirnya mendapatkan petunjuk arah yang benar.
Namun kota paris memang romantis, terutama bagi para pecinta gedung dan sejarah kuno seperti saya. Dalam hal ini belanda sepertinya kalah jauh. Bangunan seperti gambaran dalam mitologi yunani dan romawai banyak didapati disini. Masih kokoh berdiri dan terpelihara dengan sangat baik. Bentuknya pun bervariasi, pokoknya dahsyat abis!

Sayang, saya belum mendapatkan kesan paris sebagai kota mode dunia. Kebanyakan perempuan paris yang saya temui berpakaian simpel saja, t-shirt dan jeans saja. Beda sekali dengan belanda yang perempuannya bisa saya saksikan beratraksi pakaian setiap hari. Entahlah, mungkin karena hari itu Bad dress up day kali di Paris. Hehehe....

Tentu aja saya menyempatkan diri ke menara Eifel, menara terpopuler seantero dunia itu. Saya tak terlalu terkesan, mungkin karena ’ iklannya’ sudah terlanjur bergema dengan dahsyat, alam bawah saya mungkin saja mengharapkan kesan yang luar biasa.Akibatnya, Menara Eifel tak terlalu meninggalkan kesan buat saya, seperti kesan mendalam saya pada Borobudur
.


Dewi Layla at 11:46 PM






Dank U well, Richard,for the wooden shoes !


Melihat Sepatu kayu khas belanda sih saya sudah sering sejak kecil. Tapi kalau jalan-jalan ke tempat pabrik pembuatannya langsung, baru kali ini. Nama daerahnya Amastelveen. Alamak ! Jauh sekali...sebenernya sih engga jauh-jauh amat, hanya saja saya dan teman-teman benar-benar berswadaya bergerilya sendiri mencari arahnya di peta turis yang kami bawa. Naik bus, turun ganti trem, turun ganti metro..bla..bla...walah !!! Belum lagi ditambah berjalan kaki hingga ke tujuan.

Dengan bantuan seorang perempuan paruh baya yang mengayuh sepeda kami akhirya sampai juga. Nama pabriknya Ratterman. Seorang lelaki kecil lincah menyambut kami, dia managernya saat ini. Namanya Richard Staat. Melalui telepon saya sudah berbasa-basi dengannya beberapa waktu sebelum saya menginjakkan kaki di belanda.

Sepatu kayu ini ternyata punya sejarah yang sangat menarik. Menurut cerita Richard, dulu bukan hanya orang belanda yang menggunakan sepatu kayu, melainkan bangsa-bangsa lain di daratan eropa juga. Dan sepatu berbahan dasar kayu ini digunakan karena dulu masyarakat Eropa masih miskin. Tapi begitu perang dunia 2 usai dan masyarakat perlahan mengalami peningkatan kemakmuran, maka sepatu kayupun ditinggalkan dan beralih ke sepatu kulit yang lebih praktis.

Terus, masih ceritanya Richard nih, dulu masyarakat belanda sangat religius loh. Buktinya salah satu motif sepatu yang ada adalah motif alkitab/ injil. Naah, sepatu seperti itu dulu banyak digunakan oleh masyarakat Belanda yang memang religius pada masa itu. Tapi sekarang menurut Richard orang Belanda udah berubah, kira-kira tinggal 6 persen aja yang masih beragama. Tapi tingkat akurasi persennya ga dijamin ya, soalnya itu angka statistik yang muncul keluar dari mulut Richard. Hahaha

Anyway, gue dapet oleh2 sepatu belanda besar seukuran kaki gue untuk keperluan syuting. Berhubung gue akan Piece to Camera, jadilah Richard mengukirkan nama gue di atas sepatu kayu itu. Ah, senangnya ! Dank U well, Richard !


Dewi Layla at 11:45 PM





Maybe, i wasn’t born to be a journalist

This morning was the very first time I figured out that I might born not to be a journalist. What can I say now about this job ? I totally believe that it has been transforming into a new tragic meaning.

For more than 3 years, I finally found, that this is the place where people with vision and good will no longer be appreciated. Those who step on humanitarian no longer acceptable. I finally understand, that this is truly an industry. I believed that I could possibly find a hole to keep up working on humanitarian among those industrial purposes. But, I certainly believe, that thought is no need to be used any longer.

Life is about choices. I could join those industrial process while loosing my idealism. I asked myself, more than twice, could I do that ?. My lips couldn’t say a word, but my heart was sure to answer, I wouldn’t possibly live that way.

I prefer to loose this job, a job that probably I wasn’t born to be, than loosing my idealisme for humanity. Life is not about who you are gonna be, but more than that. Being in a life means living useful for people.


Dewi Layla at 11:44 PM





Many Kisses in Utrech

Di stasiun kereta api di Utrect, kami berkelilig mencari toko yang menjual streppen card. Stasiunnya lebih besar dan lebih bagus di bandingkan Amsterdam. Tak sengaja aku dan Dini memergoki sepasang muda-muda sedang berciuman di depan salah satu kios stasiun yang dipenuhi banyak orang. Aku dan dini saling pandang lantas tersenyum.

Tak sampai 5 menit kami berjalan, ada lagi sepasang muda-muda,juga sedang berciuman, bibir tentu saja. Aku dan dini saling berpandangan lagi. Kami tersenyum kecut. Hmm..untuk isteri yang sedang jauh dari suami seperti kami ini, tentu saja pemandangan itu begitu membuat iri. Lantas teringat suami.

Tak lama kami ketemu lagi dengan pasangan yang berciuman. Juga di menit-menit lainnya, dan lainnya. Begitu kami sampai di Terminal Bus Utrect juga ada, di dalam bus, di pinggir jalan juga. Aah...kenapa di sini begitu banyak orang berciuman ? Mmm...mungkin karena ada kampus besar Utrect, jadi banyak mahasiswa, banyak anak muda, banyak yang pacaran, jadi banyak yang ciuman!

Aaah...jadi ingin membawa suami ke Utrect. Pingin juga ciuman di pinggir jalan tanpa ada yang memandang sinis.


Dewi Layla at 11:43 PM





Nenek Tua di SEIZT, Utrecth

Namanya Fransisca Fangiday. Usianya sudah 81 tahun tapi masih kuat berjalan meski dengan tongkat. Ingatannya masih tajam kalau menceritakan peristiwa masa lalunya yang kelam, yang ia sebut sebagai masa perjuangan. Ia begitu berapi-api ketika menceritakan bagaiamana G 30 s telah merampas banyak hal dalam kehidupannya.

Tapi daya ingatnya langsung melemah kalau disuruh mengingat hal-hal kecil dalam kesehariannya masa kini. Ketika Temanku,Dini, bertanya, dengan siapa ia kemarin datang mengunjungi kami di Hotel, ia berusaha berpikir selama 3 menit. Akhirnya nenek Fransisca menyerah dan seorang tetangganya memberitahu bahwa ia kemarin diantar Michael ke Amsterdam. Itupun, dia masih berusaha mengingat siapa Michael.

Nenenk Frans terpisah dari anak-anaknya hingga kini akibat tak bisa pulang pada waktu peristiwa 65. Dia mengaku bukan PKI, bukan komunis juga sosialis. Tapi meski sorot matanya begitu hangat dan ia memperlakukanku laiknya cucu sendiri, aku menangkap ada sebuah misteri atau rahasia yang ia tutup rapat-rapat,yang tak ingin diketahui orang lain.

Aku tak perduli masa lalunya. Aku tak perduli ia siapa. PKI, muslim atau muslim abangan. Aku sendiri sebetulnya merasa bodoh ketika harus bertanya dengan istilah kiri dan kanan. Aku jadi merasa persis Soeharto.

Nenek Frans itu gemar tertawa. Aku lihat sekali betapa ia merindukan anak-anak dan cucunya. Beberapa kali aku memergokinya sedang mengelus-elus lembut rambut temanku dini, atau melihat kami dengan mata yang berkaca-kaca. Ia juga tak jarang menciumi kami dengan penuh kasih sayang. Begitu aku bilang aku akan kembali bulan september ke Belanda untuk belajar di Hilversum, nenek Frans meloncat kegirangan. Berulang kali ia mengingatkan aku untuk mampir ke rumahnya lagi dan menginap dirumahnya. Dari lantai belasan flatnya yang kecil dan rapih, di Seizt, Utrect, nenek tua itu tak henti-hentinya melambaikan tangan pada kami yang sudah di bawah dan bersiap-siap untuk naik bus. Aku terenyuh...aku katakan dalam hati, ”ya, oma...nanti aku kunjungi lagi kalau aku kembali ke negeri kincir angin ini bulan september nanti.IsyaAllah ...”


Dewi Layla at 11:43 PM






Dorp : Bermalam di Pedesaan Amsterdam

Terbatasnya uang saku, membuat aku dan teman-teman bermalam di sebuah hotel kecil di pedesaan Amsterdam, namanya Osdorp. Dorp dalam bahasa Belanda artinya Desa. Jadi kira-kira artinya Desa Os,mungkin. Hotelnya bagus dan nyaman, Cuma hari kedua kami di Amsterdam, salah seorang teman mengatakan bahwa setahun yang lalu ada seseorang yang bunuh diri, menjatuhkan diri dari lantai 6 hotel itu. Hiyy...Cuma karena kami tak yakin akan mendapatkan hotel murah lainnya yang juga senyaman Tulip inn ini, jadilah kami tetap menginap di hotel yang jauh juga jaraknya dari kota.

Desa Os ini indah sekali.Begitu turun bus bernomor 17, kami menyeberang jalan. Ada sebuah taman yang dibangun pada tahun 1986. Di taman itu ada sungai kecil yang didalamnya banyak bebek-bebek berenang dan dipinggir-pinggir sungai banyak burung-burung dara dan kelinci-kelinci liar yang bermain di atas rumput. Di sekelilingnya banyak pohon-pohon tua besar yang teduh. Sesekali tupai dan kelinci liar tersembul keluar dari persembunyiannya,terutama saat mereka lapar. Hmm...dengan udara musim panas dengan suhu udara sekitar 22 derajat celcius, taman ini benar-benar indah. Entah saat musim gugur atau musim dingin nanti akan menjadi apa rupa taman osdorp ini. Masih menggoda untuk dinikmatikah atau sebaliknya dingin menggigit tak bersahabat. O,ya yang paling menarik adalah rumah-rumah tua khas belanda yang sangat terawat tersusun di pinggiran sungai. Rumah-rumah bertingkat yang hanya terdiri dari susunan batu bata.

Dari pemberhentian bus, hotel kami memang harus ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira 10 menit. Sebetulnya capek juga, Cuma taman Osdorp ini cukup menghibur dan membuat kami tidak terlalu bosan selama berjalan kaki. Cuma kalau udara sedang hujan, dan suhu mencapai 12 derajat celcius, kami tak lagi dapat menikmati keindahan taman dan terpaksa harus berjalan cepat-cepat. Kalau dingin semakin menusuk, kami lantas berlomba lari untuk menghangatkan badan.

Sekarang ini aku sedang duduk di lantai 5 di sofa hotel yang nyaman. Aku sengaja bangun pagi-pagi sekali supaya bisa menulis dengan tenang, karena kedua temanku, Dini dan Rizki masih terlelap. Dari lantai 5 ini, aku bisa melihat jelas dari jendela yang luas, bangunan-bangunan berlantai 6 lainnya di seberang jalan. Seluruh bangunan terbuat dari batu bata yang tidak dilapisi lagi dengan semen. Sesekali burung camar melintas di seberang jendela kamar seolah menemani aku menulis. Aah....pagi yang teramat Indah.


Dewi Layla at 11:41 PM





Negeri yang Menghargai Perbedaan

Ketika aku sampai di Amsterdam, tepatnya di Lommer, aku melihat seorang perempuan negro dengan penampilan sangat seronok. Rok merah menyala, lebar dan pendek (sangat pendek bahkan) dan blouse yang juga merah dengan kerah yang sangat rendah, hingga kedua payudaranya berontak ingin keluar. Rambutnya dikepang kecil-kecil layaknya orang negro pada umumnya. Yang menarik adalah badannya sangat gemuk sehingga semua bagian tubuhnya tumpah ruah. Payudaranya tersembul dan belahan pantatnya hampir-hampir terbuka malumalu. Maaf, persis pelacur.

Saya mulai memperhatikan sekeliling perempuan itu. Tapi ternyata tidak! Dia tidak sendiri, dia bersama beberapa keponakannya yang kecil-kecil dan juga oma serta tante-tentenya. Dan mereka semua berpakaian rapi dan sopan. Mereka saling mengucapkan selamat tinggal dan berciuman mesra, termasuk si perempuan seronok. Hmm...aku tersenyum. O,ya aku lupa, ini Belanda, negara yang sangat menghargai perbedaan. Semua orang menghargai pilihan orang lain,termasuk pilihan si perempua seronok itu.


Dewi Layla at 11:37 PM





Ras yang Kalah

Terasa sekali perasaan itu begitu aku menginjakkan kaki di Amsterdam. Dalam hitungan menit saja, aku mahfum bahwa Tanah Airku Indonesia tak lebih dari bangsa yang terus, dan akan terus terjajah.

Bandara Schipol masih begitu sepi ketika kami sampai disana. Kami berusaha menelepon seorang teman dari telepon umum yang tersebar didalam bandara. Dengan bahasa inggris yang patah-patah, alhasil beberapa euro terbuang percuma karena salah memencet nomor kode. Berulang kali salah serta kesadaran bahwa kami hanya membawa uang yang pas-pas an saja, kami pun memutuskan bertanya pada petugas bandara tentang cara menelepon. Petugas itu berkulit hitam, mungkin dari eropa, atau suriname, tak tahulah. Dengan senang hati dia memberi tahu kami. Beberapa orang yang lalu lalang memperthatikan kami, dimata mereka penuh tanda tanya. Mungkin begini kira-kira kalimat yang ada di kepala mereka, ” masa’ pake telepon umum aja ngga bisa ?”...

Sial betul memang Indonesia ini. Hasil jajahan Belanda ini memang tidak mewarisi bahasa Inggris sebagus India atau malaysia misalnya. Padahal di kemudian hari, seperti saat ini, bahasa inggris benar-benar ketauan pentingnya.

Akhirnya kami berhasil menelepon seorang teman dan ia mengantarkan kami membeli tiket kereta api bawah tanah yang disebut Metro. Harganya mahal sekali, Cuma saya lupa berapa harganya. Lalu kami membeli streppen card, kartu yang bisa digunakan untuk naik bis dan juga trem dalam kota. Kira-kira untuk 5 kali perjalanan kami harus membayar sekitar 6,7 euro. Piuuuhhh....semua serba mahal kalau di kurskan dalam rupiah!

Berbeda sekali dengan situasi Jakarta, dimana Turis dari ras kulit putih masih menjadi tontonan menarik bagi banyak orang, khususnya mereka yang tinggal di daerah pinggir dan bukan daerah wisata. Tapi Amsterdam, turis-turis berbadan kecil seperti kami ini sepertinya tak menarik sama sekali bagi mereka. Bagus juga sih, kami jadi bisa berlalu lalang tanpa merasa risih. Namun berdiri dalam Kereta, atau berjalan di trotoar yang kiri kanannya di penuhi orang-orang Bule yang berbadan besar-besar itu, aku jadi merasa sangat kecil. Apalagi kalau harus bersisian dengan perempuan maroko yang cantik dan ayu itu, rasanya aku tiba-tiba menjadi orang paling tidak menarik sedunia. Aaahh....ras ku malang, ras melayu!

Tentu saja, lalu lintas di Amsterdam adalah hal yang paling menarik perhatianku. Ada sinergi yang bagus sekali antara trem dan busnya. Jam yang digunakan untuk naik trem dan bus diatur sedemikan rupa sehigga tidak saling bertabarakan dan penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama. Bus dan tremnya tentu saja sangat bersih, meskipun beberapa trem tak luput dari coretan-coretan iseng penumpang.

Kotanya memang tidak di penuhi oleh gedung-gedung bagus dan besar, namun bangunan-bangunan tua yang dipertahankan justru menunjukkan betapa penduduknya sangat bersahaja. Mengedepankan Fungsi tapi juga tak mengesampigkan estetika, yang terpenting mereka menghargai nilai historis.

Berbeda sekali dengan tanah airku, Indonesia. Sepertinya hidup di Amsterdam adalah menikmati hidup. Segalanya serba teratur, serba rapih dan indah. Ngga sembrawut seperti Jakarta. Inilah hidup, tidak perlu stres setiap hari menghirup asap knalpot dan bersitegang dengan angkot yang ga tau aturan. Inilah hidup, yang bekerja untuk sebuah karya dan bukan mencari uang makan. Lantas,menyesal menjadi orang Indonesa ? Tak tahulah, mungkin iya.


Dewi Layla at 11:32 PM



Photobucket - Video and Image Hosting favorit :
alternatif
sejarah
surprises
jalan-jalan
+buyung
+citra
+desan
+dhank Ari
+Nita
+ochan
picis